Belajar Berdamai dengan Masa Lalu ala Stoik

Table of Contents

Pernahkah kita tiba-tiba teringat sesuatu dari masa lalu dan langsung merasa kesal atau malu? Kadang, hanya satu ingatan bisa membuat kita merasa "bodoh" atau marah pada diri sendiri, padahal semua itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Tetapi, kalau kita terus mengizinkan ingatan-ingatan itu menguasai pikiran, kapan kita bisa berdamai dengan diri sendiri? Yuk kita belajar berdamai dengan masa lalu ala Stoik.

Stoikisme, filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani kuno, mengajarkan kita cara berdamai dengan masa lalu dan menemukan ketenangan meski di tengah ingatan yang mengganggu. Di sini, kita akan menjelajahi beberapa konsep Stoik yang dapat membantu kita menerima masa lalu dengan lebih tenang dan fokus pada hidup kita sekarang.

Belajar Berdamai dengan Masa Lalu ala Stoik


Belajar Berdamai dengan Masa Lalu ala Stoik

1. Kita Hanya Bisa Mengendalikan Pikiran dan Tindakan Saat Ini

Salah satu prinsip utama Stoikisme adalah "Dikotomi Kendali." Menurut filosof Stoik Epictetus, ada dua hal dalam hidup ini: hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Masa lalu, jelas, adalah sesuatu yang sudah di luar kendali kita. Namun, yang bisa kita kendalikan adalah respons kita terhadap masa lalu itu.

Ketika ingatan tentang kesalahan atau momen yang "bodoh" muncul, kita sering merasa menyesal atau bahkan malu. Tapi ingat, kita tidak punya kuasa untuk mengubah apa yang terjadi. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memandangnya dengan lebih bijaksana. Daripada berfokus pada penyesalan, kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apa yang bisa saya pelajari dari ini? Pertanyaan ini mungkin terlihat sederhana, tapi jika kita coba merenungkannya, kita bisa menemukan bahwa setiap kesalahan menyimpan pelajaran yang membuat kita lebih bijak.

2. Seni Menjadi Netral: Tidak Bereaksi Berlebihan

Stoikisme menganjurkan kita untuk melatih sikap "indifferentiable" atau "netral" terhadap peristiwa yang kita alami, baik yang positif maupun negatif. Bagaimana caranya? Kita diajak untuk melihat semua kejadian, termasuk masa lalu, tanpa menyematkan penilaian berlebihan. Mungkin dulu kita melihat kejadian itu sebagai kesalahan besar, namun di masa sekarang, kita bisa belajar untuk menerimanya tanpa emosi berlebihan.

Kita tidak perlu lagi merendahkan diri hanya karena kesalahan di masa lalu. Dalam sudut pandang Stoik, pengalaman hanyalah pengalaman, tanpa perlu kita beri label terlalu baik atau terlalu buruk. Cobalah melihat peristiwa "bodoh" di masa lalu dengan netral, hanya sebagai sesuatu yang pernah terjadi. Ini akan membantu kita merasakan ketenangan dan lebih menerima diri sendiri.

3. Menyambut Kesalahan sebagai Guru Kehidupan

Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang juga filosof Stoik, "Kesalahan adalah guru yang terbaik." Kalimat ini menggambarkan cara pandang Stoik terhadap masa lalu. Bukannya menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang memalukan, mereka melihatnya sebagai sumber pelajaran. Saat ingatan "bodoh" dari masa lalu datang, kita bisa melihatnya sebagai peluang untuk berkembang. Apa yang bisa kita pelajari? Apakah ini membantu kita lebih bijak di masa depan?

Saat kita berhasil melihat kesalahan sebagai guru, kita mulai melihat hidup dari sudut pandang yang lebih positif. Tentu saja, kita tidak selalu bisa menghindari kesalahan, namun setiap kesalahan memperkaya perjalanan hidup kita. Perlahan-lahan, ingatan yang tadinya mengganggu kita bisa berubah menjadi refleksi diri yang berharga.

4. Menghadirkan Memento Mori: Mengingat bahwa Hidup Ini Singkat

Dalam Stoikisme, kita diajarkan untuk sering mengingat kematian, atau dalam bahasa Latin dikenal sebagai Memento Mori. Mungkin ini terdengar menyeramkan, tapi sebenarnya ini adalah salah satu cara untuk menjaga perspektif kita agar tetap jelas. Dengan mengingat bahwa waktu kita terbatas, kita diingatkan untuk tidak terjebak terlalu lama pada hal-hal yang tidak bisa diubah, termasuk masa lalu.

Ketika ingatan masa lalu datang menghantui, coba pikirkan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan menyesali hal-hal yang sudah lewat. Setiap hari adalah kesempatan baru yang berharga, dan energi kita sebaiknya dihabiskan untuk hal-hal yang bisa membuat hidup kita lebih bermakna. Prinsip Memento Mori ini membantu kita untuk fokus pada momen saat ini dan meninggalkan penyesalan yang tidak perlu.

5. Menjadi Sahabat yang Baik bagi Diri Sendiri

Bayangkan jika seorang teman baik kita menceritakan penyesalan atas kesalahan yang ia lakukan bertahun-tahun lalu. Mungkin kita akan berkata padanya untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri, dan mengingatkan bahwa semua orang pasti pernah berbuat kesalahan. Bagaimana kalau kita juga belajar untuk melakukan hal yang sama pada diri sendiri?

Dalam Stoikisme, kasih sayang terhadap diri sendiri adalah bagian penting dalam mencapai kedamaian batin. Kadang, kita adalah kritikus paling keras untuk diri kita sendiri. Namun, belajar menjadi teman baik bagi diri sendiri adalah cara kita untuk berdamai dengan masa lalu. Daripada terus-menerus menyalahkan diri, ingatkan diri kita bahwa setiap orang punya perjalanan yang berliku, dan tidak ada yang sempurna.

Berdamai dengan Masa Lalu untuk Masa Depan yang Lebih Tenang

Berjalan di jalur Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima masa lalu dengan lapang dada. Kesalahan adalah bagian dari kehidupan, dan setiap kesalahan memberi kita kebijaksanaan yang bisa menjadi bekal untuk masa depan. Dengan melihat masa lalu melalui sudut pandang Stoik, kita belajar untuk memandang hidup ini dengan penuh penerimaan dan ketenangan.

Kita memang tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengubah cara kita memandang masa lalu itu. Dengan melatih diri untuk lebih netral, lebih lembut pada diri sendiri, dan lebih sadar akan keterbatasan waktu, kita akan menemukan bahwa ketenangan dan penerimaan bisa hadir dalam hidup kita, meski di tengah bayang-bayang masa lalu.